Sunday, July 31, 2011

Petasan!!!

DORRR!!!
Kaget gak? kaget gak? *apasih*
Berhubung di lingkungan sekitar rumah gue lagi booming-boomingnya maen petasan yang dipelopori oleh bocah-bocah gank rumah gue dalam rangka menyambut bulan puasa, jadi gue mulai intro tulisan ini dengan kata DORR (ini bukan bunyi sembarang petasan, tapi bunyi petasan pas yang nyalain ketembak pistol tentara Belanda pada zamannya).

Enggak kerasa kalau bulan puasa sudah di depan jidat, sebelumnya gue sebagai penemu gudangcelotehan.blogspot.com (hehehe) mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa buat pembaca yang menjalankan, semoga puasa pembaca tahun ini bisa full, terus dapet gocap deh dari enyak-babeh (jaman gue kecil banget :p!). Okay, setelah ramah tamah eh halal bihalal singkat ding, kembali ke topik postingan ini bahwasannya (aseekk) gue mau ngebahas sekelumit tentang barang musiman yang kalau emang udah musimnya jadi trending topic ehm... trending stuff untuk kalangan bocah tingkat SD-SMP, SMA udah gede lah, udah ga zamannya main petasan tapi main wanita (loh?loh?loh? abaikan).

Entah kenapa petasan begitu berkharisma untuk bocah-bocah tengil itu, apakah sensasi memainkannya seperti sensasi naik odong-odong yang lagunya lagu ulang tahun? atau dengan memainkannya seperti nikmatnya makan permen kojek? Ya, apapun itu petasan akhir-akhir ini sudah menjadi primadonanya bocah-bocah di kampung manapun gue rasa. Barang yang satu ini pun bukan lagi menjadi barang langka, dimana ada warung jajanan di situ ada petasan, so pastinya dengan gampil si bocah-bocah yang masih ingusan itu bisa membeli dan memborongnya. Saking membludaknya peminat petasan--mayoritas anak-anak kecil--, tentu aja para pedagang engga mau ngelewatin dong mengeruk untung sebanyak-banyaknya dari fenomena tahunan ini. Mungkin kalau ada warung jajanan yang engga menjual petasan bisa-bisa disebut warung "gak g4oL" (ngarang). So, seperti hukum ekonomi, meningkatnya produksi karena meningkatnya permintaan (eh, iya engga sih? *toeng-toeng*), penjual petasan mulai melumut (kata ganti menjamur :P) di mana-mana. Contohya, warung jajanan Ibu gue menjual beberapa jenis petasan tapi petasan ringan (ada kali petasan berat -____-") kayak kembang api sampai petasan kretek kalo gak salah. Metode penjualan petasan di warung ibu gue ini juga terbilang unik, mungkin di beberapa warung lain juga sama. Jadi, gini:

Bocah: Beliiiiiii!!!!
Gue: Beli apa? (kebetulan gue yang ngejualin karena si nyokap lagi ngongseng)
Bocah: Tebak-tebakan.
Gue: Hah? (Elo mau beli apa ngajakin gue maen tebak-tebakan sih, Boc?!)
Bocah: Itu.. itu.. (si bocah nunjuk-nunjuk sebuah kertas karton besar yang tergantung di kusen pintu warung. Di kertas besar itu menempel banyak benda yang kayaknya sih sejenis petasan semua)
Gue: Ohh. (kemudian gue mengambil sebuah toples yang berisi kertas-kertas lipatan kecil yang di dalamnya terdapat nomer-nomer yang berbeda)
ini yg disebut tuh bocah "tebak-tebakan"
Si bocah nyelupin tangannya di toples serasa lagi ngambil lotre hadiah Alphard dengan ekspresi wajahnya yang penuh harap mendapat nomer apik sehingga tuh bocah berhak mendapat petasan yg harganya paling mahal yang tertempel di karton itu. Kemudian, dia mengeluarkan tangannya dan membuka lipatan kertas yang do'i ambil.

Gue: Dua lapan (gue membaca nomer di kertas tuh bocah, trus nyari dia dapet apa dengan nomer 28-nya itu)
Bocah: Ituh, Kretek (sahut tuh bocah apal sambil nunjuk salah satu benda yang terpajang di karton itu)
Gue: Apaan kretek?
Bocah: Petasan.

Dan di situlah titik awal gue mengernyitkan dahi karena baru aja memperluas pengetahuan tentang jenis-jenis petasan. Gue kira yang disebut kretek tuh cuma rokok aja, ternyata petasan juga, dan kedua benda tersebut sama-sama berbahaya sebenarnya (-_-"). Di sini gue cuma ingin berbagi info sama pembaca semua sekedar untuk iseng-iseng aja sih kalau ternyata ada berbagai jenis petasan yang bisa didapatkan oleh bocah-bocah dengan cara yang amat mudah dan murah, cuma gopai alias 500 perak. Berikut beraneka ragam bentuk petasan yang kemungkinan sering dibeli bocah-bocah di kebanyakan kampung manapun.

petasan kretek
Entah dari mana petasan yang satu ini dinamai Kretek, mungkin dari bunyinya yang kretek.. kretek.. kretek. Petasan kretek ini seperti yang pada gambar di atas (walaupun agak mblawur><) warnanya sangat menarik, warna-warni, gak kayak rokok kretek yang warnanya gitu-gitu aja (namanya juga rokok), jelas aja bocah-bocah tertarik untuk membeli dan memainkannya. Walaupun bentuknya yang kayak kecebong ketumpahan cat, tapi suaranya boo... tetep aja nyaring nendang-nendang gendang telinga dan cukup membuat tidur siang Anda seperti di neraka (berlebayan).

petasan cincin
Kalau yang satu ini kata Ibu sih namanya petasan cincin, ya mungkin karena bentuknya yang melingkar mirip cincin, tapi bukan berarti nyalainnya pas lagi dipake di jari ya, hoho.

petasan korek
Nah, yang satu ini dilihat dari bentuknya dan pamornya yang sudah lebih eksis dibanding petasan lain, gue yakin pembaca udah tau ini petasan punya nama (yaiyalah itu di bawah poto ada tulisannya :p), petasan korek. Betewe, ada petasan kretek, ada petasan korek, jangan-jangan juga ada petasan asbak ya.

Ketiga petasan di atas cukup mewakilkan jenis-jenis petasan yang sedang digandrungi kalangan bocah di berbagai kampung. Kalau cara mainnya kayaknya kebanyakan hampir sama dengan membakar sumbunya lalu lari jauh-jauh, dan doorrr, kretek-kretek, ctarr-ctarr. Para bocah cilik nan tengil ini sukanya main petasan keroyokan (baca: rame-rame), so kita sebagai si korban pendengar petasan yang bunyinya nyakitin telinga, terkadang hanya bisa geleng-geleng dan garuk-garuk kepala. Yang bikin gemesnya lagi, bocah-bocah tengil itu juga susah dibilangin untuk berhenti main petasan, kecuali kalau mereka sudah ngerasain sendiri dampak petasannya ke jari-jari mungil mereka (tampang antagonis, melintir-melintir ujung kumis Pak Raden).

Mengingat kalau para pemain petasan ini usianya masih hitungan jari tangan, so untuk pembaca semua yang punya adek, sodara, sepupu, tetangga, atau anak yang doyan main petasan, tetep perhatiin mereka ya. Namanya juga anak kecil, masih penasaranan dan suka coba-coba, siapa tahu aja kan ada bocah yang masang petasan di dalem celana temennya? Nah loh! So, selalu pantau mereka! :D
Once more, happy fasting!
Gbu :)

Monday, July 25, 2011

Dreams are the Reason

Tiap insan dikaruniakan kemampuan untuk bermimpi. Kalau tidak punya mimpi tidak beda dengan mati. Dreams make alive. Apalagi untuk si pemimpi yang kegemarannya bermimpi apapun sampai lupa waktu lupa kenyataan. Mimpi-mimpinya besar dan tak terjangkau dengan logika, begitu indah dan berapi-api untuk ingin diwujudkan, ingin sesegera mungkin agar tak kunjung padam. Ya, mimpi-mimpinya yang sebegitu rupa itu ada kalanya redup, ada kalanya terang hingga berjuta-juta volt. Bukan salahnya untuk terus bermimpi mimpi-mimpi yang seperti itu karena terasa itu semua seperti terprogram otomatis ketika dia diwujudkan di bumi ini. Hanya terkadang terlalu membiarkan alam mimpinya berkeliaran membuatnya tak kuasa mengontrolnya, untungnya dia belum hilang akal jiwa. Dia masih sadar kalau tak semua mimpinya akan menjadi nyata-nyata. Menyadari itu pun akhirnya membuatnya malah menikmati hanya sekedar bermimpi, ketika logika tak melampauinya, ketika kenyataan ada di sudut terbelakang dalam hidupnya, ketika segala candu-candu manis yang ia ingin kecapi yang begitu mahal harganya di alam nyata dengan mudahnya ia beli di mimpi, ketika ada kepuasan.
Mimpi. Mimpi. Dan untuk kesejuta-kalinya dia bermimpi.
Biarkan dia selama dia masih ingat kapan harus pulang, selama dia belum hilang ingatan.
Mimpi-mimpinya sampai bermimpi mimpi-mimpi lagi, lagi-lagi mimpi.
Terkadang mimpinya hanya basa-basi, namun ada juga mimpi-mimpi ambisi yang kelak ada daya upaya apapun yang baik untuk merealisasikannya.
Ya, terkadang dia lupa kata realisasi, tapi bukan hilang.
Mimpi menjadi pecandunya, juga obat penawarnya, untuk tetap bernafas dan hidup karena sering waktu yang nyata tak bisa diandalkan dan mematahkan.
Mimpi, salah satu alasan dia tetap bertahan.
Dreams make alive.
Si pemimpi, dunia mimpi

Tuesday, July 19, 2011

Bisul di Wajah Metropolitan

Awan beriringan pulang ke alamnya, gelap mulai mendominasi di angkasa, ratu malam sedang dalam perjalanannya untuk berdinas menggantikan raja siang. Jalanan mulai riuh rusuh, hiruk-pikuk, hilir-mudik, kendaraan sepaket dengan klakson dan asap knalpotnya mulai berbarengan memenuhi jagat raya, mengkreasikan polusi udara untuk keberibuan kalinya. Pejalan kaki yang melangkah gontai dengan kemeja dan wajah lusuhnya berkat mencari nafkah seharian pun meramaikan trotoar jagat raya senja itu. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan, sorot-sorot sinar pun bercahaya dari tiap kendaraan yang memadu-padatkan jalanan, tanda senja sebentar lagi akan berganti malam. Oh, 'jam pulang kerja' orang sering mengatakannya.

Melihat kondisi lingkungan rumahku yang sudah menyentuh saat-saat padatnya jalan raya, itu penanda jam mandi soreku. Aku pun beserta dengan teman-temanku yang lain, anak-anak tetangga sebelah rumahku, tak segan-segan membuka kain-kain rombeng yang menempel lengket di tubuh kami hingga kami benar-benar telanjang bulat. Mungkin pemandangan yang tak etis untuk dipandang di tengah keramaian, tapi untungnya kami masih terbilang anak kecil. Tampak raut wajahku dan kawan-kawanku yang lain tergesa-gesa penuh dengan keantusiasan untuk segera membasahi badan kami dengan air bercorak gelap pekat dan kental yang menganga lebar di hadapan kami. 'Hmh, sepertinya segar sekali mandi sore!' batinku tidak sabar. Ngomong-ngomong, hidungku sudah terbiasa dengan wangi kali hitam pekat ini, sehingga antusiasku untuk mandi sore tidak akan luntur.

BYURR!! kawanku yang berkulit lebih keling dariku sudah buru-buru melompat ke dalam air. Sungguh sangat kontras warna air dengan kulitnya. 'Dasar keling! tunggu!' aku pun tak mau kalah dan langsung melompat ke air bersama dengan kawan-kawanku yang lain. Aku dan sebagian anak yang lain sibuk saling menciprat-cipratkan air ke wajah anak-anak lain. 'Ini lah saat yang kutunggu-tunggu sejak seharian bekerja. Aku senang bermain air sambil mandi dengan sesamaku yang lain. Asyik!' Aku mencipratkan air pada wajah sahabatku dan tak sengaja bungkus mie instan dan rokok terlempar juga ke wajahnya. 'Ups, maaf, kawan!' Saat-saat ini lah yang aku irikan dari sesamaku yang lain yang beruntungnya mereka tidak perlu memikirkan cara menghasilkan pundi-pundi sebanyak-banyaknya untuk hidup, tapi paling tidak ada sepotong waktuku untuk bermain dengan kawan-kawan meski di kala mandi sore.
 
Setelah merasa cukup bermain air sampai-sampai wajahku ini pegal tertawa melulu, aku naik ke atas. Kuraih sabun dari tangan temanku, kuusapkan pada tubuhku dari leher, tangan sampai kaki. Tak peduli tak ada satupun gelembung busa di tubuhku, yang penting aku sudah sabunan. Aku pun menertawakan seorang temanku yang lain yang masih manja dengan Ayahnya, masih dimandiin sama Ayahnya, malu ih. Tak jauh dari kami pun, di pinggiran kali, aku melirik sambil terkekeh ke arah sohibku yang rambutnya paling keriting yang sedari tadi belum selesai dengan urusan membuang isi perutnya. Kembaliku pada tubuhku, selesai kusabunan, kuoper sabunku pada kawan yang lain. Kemudian, dari sebuah genangan berisi air yang kelihatannya tak jauh berbeda warna dengan kali besar di hadapanku, aku mengambil air dari sana dengan mangkok plastik dan menjatuhkannya di sekujur tubuhku. 'Brrrrr... dingin!' Aku sedikit menggigil. Tubuhku yang kehitaman karena terbiasa tersengat matahari ini kini sudah hmhhh.... bau sabun walaupun tak sebegitu wangi dan badanku sudah segar.

Menjadi pemandangan para pengguna jalan yang baru pulang beraktivitas seharian yang melintasi jalan-jalan setapak di sekitar kami sudah hal lumrah menjadi saksi mata kami mandi sore, buang air besar, buang air kecil, atau hanya sekedar main ciprat air. Mereka pun tak lagi begitu mengindahkan kami yang berada di pinggiran samping kali hitam, di bawah jembatan layang dan jembatan busway. Begitupun dengan kami, kami mandi ya mandi seperti menikmati nyamannya mandi di bath-tub hotel berbintang lima. Beginilah ekosistem kami dan mereka sehari-hari, kita menjalaninya beriringan, begini apa adanya setiap hari tanpa maksud kami untuk merusak keindahan kota ini. Ya, kami dan mereka hidup beriringan setiap hari dan semua terlihat baik-baik saja, walaupun kami tidak tuli kalau mereka suka bilang 'ini bisul di wajah metropolitan.'

Anak Jalanan, Grogol

Sunday, July 17, 2011

Motong Bawang di dalem Bioskop

Udah pada tau kan film Indonesia tentang seorang anak perempuan remaja SMP yang hidup bersama penyakitnya, kanker ganas, untuk mewujudkun mimpi-mimpinya? Film yang belakangan ini sedang beredar di bioskop-bioskop kesayangan Anda dan yang iklan promonya di hampir semua channel TV? Iya, Iya, yang iklannya ada anak perempuannya botak. Bukan, bukan, bukan Upin & Ipin. Nah, iya, bener, bener, judulnya Surat Kecil untuk Tuhan.

Mendengar judul film ini dan melihat tayangan iklannya di tivi, gue langsung teringat sebuah film barat yang bisa dibilang mirip dan memang itu film bagus binti keren banget, yang sudah beredar di dunia bioskop ataupun DVD jauh-jauh hari sebelum Surat Kecil untuk Tuhan. Judulnya pun kalau ditranslate ke Bahasa Indonesia memiliki hanya secuil perbedaan, Letters to God. Berhubung, gue ini salah seorang masyarakat Indonesia yang sensitif, geregetan, dan gemes sama film-film Indo yang lumayan banyak hasil copycat dari film luar, so awalnya gue kira Surat Kecil untuk Tuhan ini niru Letters to God, tapi pandangan itu lumayan sirna begitu gue nonton dan malah motong bawang di dalem bioskop.

Jalan cerita Surat Kecil untuk Tuhan sendiri engga begitu berbeda dengan Letters to God, sama-sama tentang seorang anak yang berjuang melawan dan hidup bersama penyakin kanker ganas, dan mengirim surat pada Tuhan, meski total surat yang dikirim untuk Tuhan banyakan di Letters to God. Juga, kedua film ini sama-sama mengangkat kisah berdasarkan kisah nyata. Namun, bedanya, kisah nyatanya diangkat dari dua orang yang berbeda, beda banget, yang satu kisah nyata dari seorang anak yang dari barat sono, yang satu lagi kisah nyata seorang remaja putri, Gita Sesa Wanda Cantika atau Keke, yang menderita Rhabdomyosarcoma (Kanker Jaringan Lunak) pertama di Indonesia. Jadi, karena kisah nyata yang diangkat itu dari orang yang berbeda, alur cerita kedua film tersebut juga berbeda, hanya saja ada beberapa adegan yang mirip menurut gue. However, kedua film ini mampu membuat gue bener-bener kayak lagi motong bawang, lebih lagi pas gue nonton Surat Kecil untuk Tuhan, ya karena faktor nonton di layar yang segede layar tancep juga sih.

Well, maksud gue ngasih judul postingan ini "Motong Bawang di dalem Bioskop" adalah karena ehh karena gue dan adek gue nonton Surat Kecil untuk Tuhan di bioskop bukan kesayangan kami. Awalnya, jujur gue rada males nontonnya karena pikir gue ini film niru Letters to God, tapi begitu gue duduk anteng mantengin satu layar nyaris segede spring bed dan mencoba menikmati alur ceritanya, alhasil sejadi-jadinya gue nangis. Padahal, gue udah sengaja ngeliat ke atas dan kemanapun selain ke layar untuk menghindari menonton adegan-adegan yang isinya nangis-nangisan semua biar gua gak ikut nangis, tapi apa daya air mata ngucur juga. Gilak! lo bayangin aja, ceritanya sih iya bagus, mengharukan dan menyentuh, tapi ya kenapa kebanyakan adegannya tuh isinya kayak orang lagi lomba nangis, ditambah backsound mendayu-dayu, dan dialog yang mengiris-iris hati yang mendengar, plus-plusnya lagi itu ada beberapa adegan yang bener-bener meng-shoot full face seorang sahabat pemeran utama yang lagi nangis. Nah, lo bayangin aje deh tuh, selayar segede spring bed isinya cuma muka seorang gadis yang lagi nangis kejer. Disuguhin adegan yang kayak gitu, jelas aja gue engga bisa melawan takdir buat ikutan nangis (takdir mennn! ;p), sepertinya gue sudah terhipnotis untuk ikutan mewek. Begitupun dengan pengunjung lain, di beberapa adegan yang sudah sungguh-sungguh miris, gue mulai mendengar desahan dari susut-sudut bioskop, desahan dan isakan tangis pengunjung lain maksudnya. Kocaknya lagi, begitu di tengah-tengah alur cerita, dimana sudah ingin mencapai titik klimaksnya plot tuh film, gue sengaja nengok ke sebelah, ke adek gue, dan adek gue pun menengok pula ke gua. Astajim! Adek gue udah kayak cuci muka pake aer mata sendiri, berasa abis motong bawang pake kuku dan gigi sendiri, aer mata bergelinangan di bawah matanya. Yang ada, setelah itu kita sama-sama ngakak karena saling melihat hal yang sama (nyahahahaha, ngerti maksud saya?).

Gue sengaja engga nyeritain kisah lengkapnya atau sinopsis lengkapnya Surat Kecil untuk Tuhan, karena nanti kalau udah diceritain sensasinya jadi beda dengan nonton langsung filmnya (<--alibi males ;p) dan biar pembaca yang akan nonton film ini juga merasakan sendiri sensasi motong bawang di dalem bioskop, itu juga kalau memang pembaca orangnya mudah tersentuh (kayak aye, ihir, *apaseh). Kalaupun kalian nonton sendiri, tenang... kalian gak nangis sendiri.

Makasih udah singgah dan baca. Enjoy your days! Gbu (:

Monday, July 4, 2011

Evolusi Becak

Seperti yang kebanyakan orang sudah tahu kalau becak itu adalah salah satu alat transportasi tradisional di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Kendaraan yang satu ini cukup banyak menciptakan kontreversi juga, karena pernah ada aturan yang dibuat si petinggi-petinggi kalau becak sudah tidak boleh lagi beredar di daerah-daerah tertentu, padahal harusnya dilestarikan, lagipula apa mereka mau rela rogoh kocek dalam-dalam buat ngegantiin pekerjaan para tukang becak? hah? (aduh, malah esmosi, sabar sabar #minumesteh). Becak tekenal dengan bentuknya yang khas, yaitu dengan rodanya yang tiga, bedanya sama sodaranya Bajaj, becak dikendarai dengan cara dikayuh oleh abang, mas, bapak tukang becaknya (belum pernah liat tukang becak wanita), bukan dengan mesin, tapi dengan tenaga MANUSIA. Di situlah sebagian besar hidup mereka diletakkan, ada pada kuatnya kedua kaki mereka dalam hal mengayuh.
pic by simbah gugel. Becak Sepeda
Itu sekilas info tentang becak versi gue (tumben intronya nyambung sama judulnya! #ma'atih eaa kakak). Lalu tujuan dibuatnya postingan tentang Evolusi Becak ini karena fenomena yang gue lihat beberapa bulan yang lalu, yang baru sempet gue tulis sekarang, jadi harap maaf dan maklum kalau banyak dari pembaca yang sudah keduluan lebih tahu tentang evolusi becak ini atau yang mau bilang gue "ketinggalan jaman" atau "ketinggalan becak" juga silakan, gue rela, asal jangan timpuki saya dengan es teh apalagi becak. Jadi, kira-kira bulan Mei yang lalu, waktu gue berniat mengunjungi Malioboro via Kartosuro (pake bis dari terminal Kartosuro), gue singgah di shelter busway-nya Jogja, shelter Prambanan tepatnya. Nah, jadi gini kronologisnya, gue lagi duduk nungguin buswaynya dateng, dan mata gue yang hobinya berkeliaran kalo lagi engga ada kerjaan menangkap satu benda yang membuat gue perlu memperjelas fokus penglihatan gue. Gue liat becak. Hmm... becak apa becak itu? begitu batin gue. Gue pun engga mau hilang kesempatan untuk menjepretnya.
pic by saya. Becak berpantat motor bebek.
pic by kulo juga. Sepasang becak berpantat motor bebek :D
Begitu liat penampakan itu, gue langsung mikir apakah ini sudah saatnya becak mengalami evolusi? Udah engga ada lagi sepasang kaki yang berurat menegang untuk mengayuh, udah engga lagi gowesan-gowesan penuh semangat dan asa dari kaki-kaki si tukang becak, mungkin sekarang mereka tidak perlu mengurut-urut kaki lagi setelah bekerja seharian, karena becak sudah berevolusi. Wujudnya tetap seperti becak pada umumnya yang bagian belakangnya seperi sepeda dan cara kerjanya digowes, sementara perubahannya terjadi pada bagian belakang becak itu. Sekarang bagian belakangnya seperti dan kelihatannya memang bagian belakang motor bebek. Secara kasat mata penampakan ini seperti hasil perkawinan silang antara becak dengan motor bebek, dan beranaklah seperti gambar di atas.

Senang juga melihat evolusi becak ini karena hal ini akan memudahkan para tukang becak untuk bekerja dengan becaknya, ditambah juga kecepatan becak jadi lebih cepat beberapa puluh km/jam dan menciptakan angin semilir untuk penumpang, kelihatannya juga lebih keren. Haha! Tapi, kalau begitu, berarti perlu ada tambahan lembaran uang untuk modal beli bensin atau kalau semisal mesin mogok, selain itu juga akan ada satu penyumbang polusi jalanan lagi dengan asap yang mengepul dari lubang knalpotnya, penikmat becak pun juga mesti merelakan kehilangan saat-saat menikmati pemandangan-pemandangan yang ada di sekitar mereka karena kini becak sudah bisa berjalan secepat ojek, dan tampilannya pun ga seeksotis becak sepeda yang menjadi salah satu daya tarik turis ataupun pelancong untuk memilih naik becak dibanding ngojek.

Bagaimanapun juga, ini suatu kemajuan yang perlu diacungi jempol. Tapi, ya semoga becak yang menjadi keunikan dan kekhasan Indonesia tetap dilestarikan walaupun kini sudah berevolusi. Juga, mesti tidak dilupakan kalau terkadang penghasilan menjadi tukang becak saja hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari, apalagi kalau harus tambah modal buat beli bensin (berasa tukang becak yak, tau aja. Haha!). Betewe, entah evolusi ini terjadi hanya di wilayah sekitar Jogja saja atau sudah ada dimana-mana, tapi yang jelas, kemaren sore gue masih naik becak yang dikayuh dari terminal Tirtonadi sampai Ngarsupuro, Mangkunegaran, Solo.

Demikian celotehan saya tentang becak. Tenang, celotehan ini bukan celotehan berdasarkan karangan imajinasi, tapi didasari fakta yang gue lihat pake biji mata kepala gue sendiri. Semoga bisa menambah informasi atau jangan-jangan gue yang ketinggalan informasi ya? --a Wah, isin juga, tapi ya gapapa, sekedar men-share saja :D

Makasih sudah mau singgah dan membaca! (:
GOD bless you.

Sunday, July 3, 2011

Dalam Hingar bingarpun, Namamu Ada

Sengaja kutarik diriku dari segala kepenatan yang ada di pijakan bumi lamaku, ke pijakan lain yang penuh dengan kehingar bingaran, sebuah pentas pertunjukan seni. Mataku pun terbelalak melihat keindahan dan kemegahan penampil-penampil dan tata panggung yang terpampang di hadapanku. Awalnya kuberada di sana, masih terlintas namamu dan berbagai pertanyaan yang di awali kenapa dan itu serasa palu yang tak henti-hentinya membentur dinding kepalaku, sehingga meskipun mataku menikmati kemewahan lenggak-lenggok sang penari di tengah kilauan lampu-lampu sorot, hati dan otakku bersengkongkol memikirkan namanya, alhasil aku tidak bisa menikmati acara yang ada secara utuh. Namun, lambat laun, akupun terlarut dengan pesona yang ada di atas panggung megah dan simpel tersebut, keluwesan gerak tubuh mereka, keharmonian alunan musik perkusi, dan keindahan suara si penyanyi, hingga hati dan otakku mulai bisa menikmatinya, akhirnya. Tujuanku pun kalau begitu tidak sia-sia, aku pergi untuk lari dari bayang-bayang dia yang berkelahi dengan pikiran-pikiranku, perang di dalam tempurung kepalaku, dan aku lemah untuk membunyikan peluitku, menghentikan mereka. Sejenak aku merasakan kesuksesan dalam pelarian ini, sambil dalam hati mensyukuri keindahan seni dan menggugah asaku untuk ingin terlibat, mengembangkan, ya turut berkecimpunglah dengan si seni yang elok nian itu. Namun tak lama, sial dan anehnya dalam hingar bingarpun yang bak mendobrak-dobrak pintu hati untuk mengusir paksa para pegulat di dalam kepalaku tadi, namanya pun ada seperti hantu atau macam apa ini??!! Seorang yang duduk di depanku tanpa dosanya, memang seharusnya dia tak merasa berdosa juga karena hal ini, menyebutkan satu nama yang zlepp!! nama yang sama, nama yang sejak berhari-hari lalu berkeliaran di kepalaku, nama yang menjadi pemacu semangatku untuk melakukan pelarian ini, untuk melupakannya, meletakkannya di sudut terbelakang, dan nama itu dengan enaknya muncul tiba-tiba di tengah hingar-bingar. Detik itupun, aku merasa guci tanah liat yang hampir sempurna dengan sedikit lagi polesan, luruh lantah tak berbentuk lagi, kesuksesanku seperti piring pecah. Memang terdengar hiperbola dan aku akui, tapi rasanya memang satu adegan itu seperti bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Kenapa satu nama itu terlalu berpengaruh? Entah cara apa lagi yang kelak kulakukan untuk melarikan diri dari nama itu.

Waspada Gudang Celotehan Bajakan!

Belakangan ini gue iseng buka blog gue setelah sekian lama gak terjamah. Gue iseng aja ketik keyword "Gudang Celotehan" di Googl...