Sabar

Ini suratMu. Panggilan jelas untuk dilakukan. Awalnya memang aku belum cukup tingkat tinggi untuk mengerti. Aku hanya menerima mentah dan mencoba menaatinya karena aku ingin  melakukan apa yang tertulis, ya ku ingin menyenangkanMu. Ketika mulai kumencoba menjalaninya, tidak mudah, memang. Ini melawan arus aliran siapa diriku. Bagai berjalan menerpa hembusan angin ribut, menantang, dan itu melemahkan tulang. Melihat diri tak cukup kuasa untuk melawan diri, di situlah kadang aku terjatuh. Tapi, berkali-kali ku baca, ku dengar, ku rasa, Engkau membangkitkan kembali semangat yang patah. Menuntunku jalan kembali, meski tergopoh-gopoh dengan sisa rasa enggan. Sekali lagi, aku mencoba taat, mungkin ya tak sempurna dan hanya seperti seorang murid mengerjakan pe-ernya, hanya sebatas sebuah tugas, tidak serius dan tidak dengan hati. Saat sadari hal itupun, berulang kali linangan air keluar dengan mulus berkecamuk dengan rasa sesal, malu, ampun, dan kemanusiawian. Bukan sekali, tapi lebih. Mungkin cicak bosan melihatnya, detik jam pun lelah bergulir dalam hal ini, entah apakah Kau juga merasa seperti mereka? aku hanya merasa bersalah tidak menjalaninya dengan hati yang utuh seutuh-utuhnya, hingga kinipun, sampai detik kutulis ungkapan lubuk hati aku merasa terlalu bodoh untuk tak kuat melawan, diri.

Namun, di balik semua itu ku mencoba untuk tetap pada alurMu, tetap setia meski jiwa meronta-ronta untuk berlari meninggalkan semuanya tentang ini. Mengingat kalau ini suratMu, tertulis jelas untuk dilakukan. Aku mencoba sekuat daya yang kubisa. Aku belajar dari cara orang lain yang sudah lebih terbiasa dan bisa dalam hal ini. Kusadari aku bukan mereka, sehingga ku hanya mengerjakan apa yang ku bisa dan mencoba untuk terus memperbaikinya, meski lagi-lagi tidak sempurna. Aku mengikuti sebuah kegiatan untuk mempersiapkan diri, memperlengkapi persenjataan, dan lain-lainnya, mungkin keterbatasan intelektual ku tak bisa menangkap dengan utuh dan mempraktekkannya. Aku berusaha melawan keinginan ragaku. Menomerduakan itu semua. Berusaha agar hal tentang panggilan ini menjadi sebuah prioritas. Aku sadar kalau aku tak punya bekal begitu banyak untuk mengajar, ilmuku kurasa terlalu sedikit untuk boleh layak berbagi dengan orang lain. Karenanya, aku pun belajar, lagi. Sembari kulakukan hal ini, aku mencoba sebaik mungkin, seperti yang kupelajari, kulihat dari mereka yang bisa dan biasa.

Melakukan hal ini, ketika kembali memutar meori ke belakang lemari, ku rasa seperti menjalani menjadi seorang yang bodoh dengan hasil yang sia-sia. Aku berusaha dan berjuang sekeras mungkin, aku memberi untuk menciptakan kesan keindahan, dirikupun meski sering kali tidak baik, ku mencoba untuk menjadi sebuah contoh untuk mereka, tapi ketika kini ku lihat, semua sirna, satu per satu berguguran, jawaban pergumulanku tidak, seakan-akan aku ini orang yang gagal, semua usahaku sia-sia, peluh, airmata, daya, semua hanya kebodohan belaka. Hanya menyakiti diri sendiri saat kuterima hal-hal sebagai respon dari mereka yang kucoba ajar. Seakan-akan setelah manis yang kau kecap, kau pergi. Aku mengutuki hal ini dari lubuk terdalam dan tergelap dari seorang aku. Aku tidak terima. Diriku pun menjadi sasaran umpatan sendiri. Tapi, aku tak menyalahkan mereka. Aku pun tak menyalahkanNya. Itulah ketika sisi hitamku, manusiaku, yang berbicara.

Memang tak terselami pikiranMu, Kau rumit namun indah hingga kucoba mengerti jalanMu tapi tak sanggup. Mengingat sisi kebaikanMu, kasihMu, Kau yang kukenal adalah kasih, yang selama ini menjagai dan membimbing, yang ada ketika aku berada dalam titik terburuk dalam hidupku, ketika semua menjauh dan hanya Kau yang di sampingku, yang kurasa benar Kau sungguh sungguh dan sungguh penuh kasih, damai, dan sejahtera. Itu semua masih terlalu sedikit menngingatkanku kalau Kau tidak mungkin membiarkan satu hal sia-siapun terjadi saat kumencoba taat. Ku anggap hal ini adalah sebuah proses bentukanMu tentang satu mata pelajaran paling rumit di hidup, kesabaran. Betapa panjang dan besarnya sebuah kesabaran, tak terukur dan tak ternilai, meski memang aku rasa ada batasnya karena ku manusia, aku buah karya Pinciptaku. Ya, di balik hasil pergumulan, di belakang detik ini, semua itu wujud proses. Sabar untuk mengutamakan yang lebih utama, sabar untuk menahan keinginan diri, sabar untuk berdoa, berusaha, mencari, belajar, dan mengajar. Sabar untuk setiap respon manusia yang unik dan berbeda-beda yang terkadang karena keterbatasan diri menyakiti hati baik sengaja atupun tiak. Sabar untuk tetap mengasihi. Sabar untuk menjadikan diri patut untuk menjadi sebuah contoh hidup. Sabar untuk berbagi dan memberi. Sabar untuk waktu dan kesenangan yang diambil paksa. Sabar untuk bersabar. Indahnya seni bentukan untuk bersabar.

Ya, semuanya itu menjadi bekal, semakin memperlengkapi dan mempersiapkanku untuk hal lain di depan yang lebih baik. Kini saatnya berbenah diri untuk benar-benar melakukan kembali hal ini dengan hati yang utuh, serius, dengan bimbingan Sang Maestro hidup.

Comments

Popular posts from this blog

Seragam SMA = Baju Jojon

Postingan Galau

Dua Mimpi untuk Salatiga