Empat tahun yang lalu, hanya bisa menghela nafas ketika ditolak di universitas-universitas negeri di area Jabodetabek dan ketika diterima di salah satu universitas negeri di Bandung, berkas terpaksa dicabut karena prospek kerja jurusan yang gue ambil tidak begitu cemerlang nantinya, menurut orangtua. Sampai suatu hari, diputuskan gue akan menimba ilmu di Salatiga, padahal sebelumnya berkas di UKSW juga sudah dicabut, lalu (untungnya masih bisa) dimasukkan kembali. Itu kenapa NIM gue berada di urutan akhir.
Sebelumnya, belum pernah denger Salatiga, sampai pernah berpikir, 'salatiga? ada ya?' Modal gue hanya nurut sama kata-kata orangtua. Dulu sempet minder dan berkecil hati karena jauh-jauh kuliah di kota kecil hanya untuk mengambil jurusan bahasa Inggris. 'Di Depok juga banyak, Ray, universitas swasta yang Bahasa Inggrisnya bagus,' begitu kata salah seorang teman. Satu-satunya jawaban yang terlintas di kepala saat itu, 'iya sih, tapi mahal! Di salatiga biaya kuliah dan hidupnya murah, selain jurusan bahasa inggrisnya udah terkenal bagus (kata bokap).'
Begitu tiba di Salatiga, pepohonan besar, tinggi, dan rindang menyapa dari pinggiran jalan raya yang tak begitu lebar. Situasi Salatiga serupa dengan Bogor. Adem. Jelas beda banget dengan Depok dan Jakarta yang panas dan ruwet. Ibarat benang, Salatiga lurus, Jakarta ruwet.
Di hari-hari pertama berada di Salatiga, gue engga mau lepas dari ketek nyokap. Ya, itu istilah aja sih kalau gue ingin ditemenin nyokap dulu di minggu pertama di Salatiga. Seiring berjalannya waktu, gue bisa lepas dari ketek nyokap dan berdiri di kaki sendiri. Entah, yang terlintas di kepala gue istilah itu. Gue belajar mandiri di kota kecil ini. Bener-bener mandiri. Biasanya baju dicuciin mesin, sekarang dicuci tangan sendiri. Biasanya baju disetrikain bokap, sekarang disetrika sendiri. Biasanya mau makan tinggal buka tudung saji di meja makan, sekarang harus jalan dulu ke warung makan. Biasanya ongkang-ongkang kaki nonton tivi, sekarang cuma dengerin radio, mana lagunya keroncongan semua pula yang diputer. Ya, salatiga sudah mengubah gue menjadi pribadi yang lebih mandiri dari sebelumnya.
Ajaibnya, gue yang biasanya kehilangan selera makan di tempat baru, kali ini tidak. Nafsu makan gue gede, malah lebih gede dari makan di rumah, apalagi waktu tau kalau selembar 5000 sudah bisa makan nasi sama ayam, plus es teh. Beberapa hari pertama di Salatiga, menu makanan gue tidak jauh berbeda dengan di rumah, nasi dan lauk, tanpa sayur. Tapi, ketika bertemu dengan teman-teman di Salatiga yang mungkin prihatin melihat tampilan makanan gue yang warnanya flat tanpa ada sayurnya, gue diajak makan sayur. Perlahan namun pasti, gue mulai terbiasa menyantap nasi, lauk pauk, dan SAYUR. Mulai dari cah kangkung sampai balado terong. Sebelumnya, gue engga pernah ngebayangin bisa makan buah berbentuk lonjong warna ungu itu, tapi ternyata enak juga! Ya, salatiga juga sudah membuat gue bisa makan sayur.
Kenyataan lain yang lebih hebat dari dari makan beberapa jenis sayur adalah gue bisa makan ROLADE. Rolade adalah sejenis gorengan yang terbuat dari daun singkong. Full daun singkong. Para daun singkong itu akan digulung-gulung lalu diberi tepung dan digoreng. Karena terbuat dari daun singkong, jadi rasanya pahit. Tapi, akhirnya, gue jatuh cinta sama Rolade selama memakannya dengan mencocolkannya ke saos rasa pedas-manis biar pahitnya engga begitu terasa. Salatiga, you make me love ROLADE!
Selain itu, bukan hanya kaya akan beraneka jenis kuliner murah meriahnya, Salatiga juga kaya akan petualangan alamnya. Kalau bukan karena berkuliah di kota mungil ini, gue engga akan pernah menjajal mendaki Merbabu, salah satu gunung yang tinggi dan besar di Indonesia. Betapa gue bersyukur karena semenjak di Salatiga, gue lebih mendekat dan mencintai alam. Mendaki gunung Merbabu, meski belum mencapai kedua puncak teringginya, menjadi bukti bahwa salatiga telah memberi gue kesempatan dan pengalaman yang tak akan pernah terlupakan untuk lebih mendekat dan mencintai alam, karena melalui alam, gue bisa mengingat Pencipta dan bersyukur bahwa indahnya alam ini adalah obat penenang dari perihnya luka hati, hehehe.
Lebih banyak dari kata-kata tentang apa saja yang salatiga telah lakukan dan berikan di hidup gue selama empat tahun merantau di kota ini. Empat tahun ini pun ternyata begitu singkat dan belum cukup untuk meng-eksplore kota kecil ini. Kota kecil yang menyimpan banyak keajaiban dari yang terkecil sampai terbesar. Terimakasih banyak, Salatiga. Terimakasih berlimpah, Tuhan, di kota ini pun Kau telah membuatku semakin mengenalMu dan mengajarkanku tentang berbagi hidup kepada orang-orang yang Kau percayakan padaku, tentang berbagi kasihMu kepada sesama, kasihMu yang terlalu luas untuk disimpan dan dinikmati sendiri, dan masih banyak lagi. Terimakasih. :')
saya pengin sekali ke salatiga
ReplyDeletedatangilah Salatiga, kamu gak bakal rugi. :)
Delete