Senyumnya Tak Seangker Kumisnya


Mau tau kenapa ada kumis dalam proses gue ngerjain skripsi? Yuk, dibaca lagi! ;)

Berawal dari gue memilih genre “literature” dalam topic skripsi gue. Jadi, ada tiga pilihan kategori topik skripsi: edukasi, linguistic, dan literature. Linguistic itu engga usah gue lirik karena itu ibarat kimia di kelas IPA and I hate it so much! Dan gue lebih tertarik ke literature daripada edukasi, meskipun gue juga suka edukasi sih. Nah, karena skripsi gue berbau dunia literature atau sastra, gue engga menemukan banyak references di perpus kampus karena lebih banyak buku tentang edukasi di sana. Alhasil, gue harus rajin ke kampus sebelah, kampus Kartini namanya, dulunya STIBA (Sekolah Tinggi Bahasa Asing), tapi sekarang udah merging sama FBS, jadi disebut kampus Kartini. Karena dulunya kampus Kartini ini kampus khusus sastra jadi perpusnya juga punya buku-buku teori sastra yang engga gue temukan di perpus UKSW.


Nah, ini dia asal muasal kumis itu. Jadi, saat pertama kali gue ke perpus kampus Kartini, gue bertemu dengan bapak penjaga perpusnya. Namanya Pak Warso** (nama disamarkan ahh). Orangnya kalau gue bisa deskripsikan adalah seorang pria berbadan agak gemuk, berkulit gelap, berkacamata, dan berkumis hitam pekat tebel (gue engga sempet ngukur juga sih berapa ketebalannya, tapi dari jauh sih keliatannya lebat gitu #apasih -_-). Pas pertama kali ketemu, si bapak ini keliatan cool, ngomongnya dikit-dikit dengan suara berat. Nah, jadilah kesan pertama gue kalau si bapak ini adalah orang yang angker dan galak. Melihat bentuk perpusnya yang kecil, sepi, dan mojok, ditambah penjaganya yang modelnya begitu, gue jadi maklum kenapa perpus kurang diminati orang-orang.

Tapi, setelah beberapa kali gue main ke perpus kampus kartini dan ketemu bapak itu, senyumnya jadi semakin terlihat jelas, lho. Seperti tadi pagi (Senin pagi), gue ke perpus itu lagi buat motokopi contoh skripsi dan si bapak ngasih senyum yang lebar pas gue pamit pulang. Kalau dulu, senyumnya terhalang kumis. Sekarang kumisnya sampe mekar gitu karena sembulan senyumnya. Kalau dulu, senyumnya cuma segaris. Tapi sekarang gue melihat sudut luar matanya juga ikut mengerut ketika dia tersenyum, itu berarti senyumnya lebih lebar dari sebelumnya. Hati gue jadi adem ayem dikasih senyum begitu sama bapak penjaga perpus, rasanya senyum itu seperti sebuah bentuk dukungan kecil dari si bapak dalam gue ngerjain skripsi.

Terimakasih ya, pak senyumnya! Nah kalau senyumnya begitu kan jadi gak keliatan aura angkernya, pak (Ehh -.-). Dan dari senyumnya itu gue tau kalau bapak itu orangnya baik dan engga seangker kumisnya. Rajin-rajin tersenyum ya, pak, efeknya bisa bikin yang disenyumin adem ayem, lho. ^^

Comments

Popular posts from this blog

Seragam SMA = Baju Jojon

Postingan Galau

Dua Mimpi untuk Salatiga