Merbabu, I'm in Love (with YOU) 
Kalau beberapa waktu lalu gue udah memosting 
tentang perancanaan sampai persiapan pendakian perdana gue dan 
kawan-kawan sepelayanan ke Merbabu, kini saatnya melanjutkan perjalanan.
 So, please turn on your imagination, guys! karena kali ini gue akan 
berusaha sebisa mungkin nyeritain seditel-ditelnya perjalanan pendakian 
ke Merbabu ini. Oke, please, bayangin kalau kalian sedang ikut gue 
mendaki ya, hahaha :D
13.00 WIB, Jumat, 24 Agustus 2012, Home Training Perkantas Salatiga...
Siang
 itu terik banget, terik yang biasanya sukses menghasut gue untuk engga 
beranjak dari kamar kost, tapi gagal untuk hari ini. Seterik-teriknya 
siang ini, semangat mendaki gue lebih terik dari matahari. Gue sudah 
siap dengan kostum mendaki versi gue (celana training, kaos berlapis 
sweater, sepatu, dan tas gemblok yang lebih gemuk dari biasanya) dan 
sebotol aqua besar dalam genggaman. Hati gue saat itu dipenuhi 
ke-excited-an yang berlebihan sampe-sampe rasanya malas makan siang, 
pengen langsung ngedaki. Tapi mengingat resiko engga makan siang yang 
bisa-bisa ngehambat pendakian, gue pun memilih untuk mengisi "bensin" 
alias makan siang dulu. Sebelum melakukan perjalanan panjang dan berat, 
bahkan mesin pun perlu diisi bensin, bukan? apalagi manusia, hehe.
Sekitar
 pukul 1 siang gue tiba di Home Training, tas-tas gendong teman-teman 
lain sudah bertumpukan di lantai, gue pun meletakan tas gemblok gue di 
sana dan merasa sedikit aneh karena tas-tas gendong lain lebih kempes 
dari tas gue ><. Seorang kakak, sebut saja dia Kak Debby, 
yang berpengalaman ikut Mendaki tahun lalu pun turun tangan untuk ngecek
 isi tas gue. Gue yang engga tau apa-apa pun manut aja.
"kamu bawa apa aja, Ray?" tanya Kak Debby heran.
Gue
 ngebuka tas dan ngeluarin seplastik makanan ringan, sarung, baju ganti,
 perabotan cewek (handbody, lipbalm, minyak wangi, dll), carjer hape, 
dll. Lalu, sambil geleng-geleng kepala, tangan si kakak ini dengan lihai
 mensortir barang bawaan gue sehingga kini tas gemblok gue muat 
dimasukin aqua botol gede. Yayyyy! Maklum masih pemula, pikir gue 
daripada di sana gue ribet cari ini itu jadi dibawa aja semua, ternyata 
justru barang bawaan yang engga begitu penting di gunung itu bisa-bisa 
ngehambat pendakian karena tas jadi berat. Itu tips buat pendaki pemula 
ya, bawalah barang bawaan yang berkaitan dengan mendaki aja, malah kalau
 bisa tas itu diisi botol air munim semua aja, karena mending kulit 
kering daripada keausan di atas gunung.
Agak
 molor keberangkatan kami karena menunggu teman-teman lain dan mengecek 
persiapan, tapi engga masalah yang penting tetap mendaki. Setelah semua 
dirasa siap dan teman-teman pun sudah ngumpul, kita mengawali perjalanan
 ini dengan doa.
Dua
 onggok bis kecil sudah menanti kita di ujung jalan. Bis-bis ini lah 
yang akan mengantarkan kita ke Chuntel. Chuntel itu adalah daerah di 
Kopeng, Salatiga, sebagai salah satu jalur pendakian. Jadi, kalau kita 
mau mendaki Merbabu, ada beberapa jalur pendakian seperti jalur 
pendakian Wekas, jalur pendakian Chuntel, jalur pendakian Selo, jalur 
pendakian Candisari, dan jalur pendakian Tekelan. Setiap jalur pendakian
 memiliki keunikan dan kerumitannya masing-masing, lho. Info lebih 
lanjut tentang jalur pendakian tersebut bisa dilihat di sini.
Sepanjang
 perjalanan Salatiga-Kopeng, semilir angin dari jendela bener-bener jadi
 lagu nina bobo buat gue, bikin ngantuk. Tapi, begitu gue melihat 
pemandangan sawah dan gunung yang lebih jelas ketimbang diliat dari 
Salatiga, mata gue langsung melek, rasanya engga mau ngelewatin tiap 
sekon pemandangan yang terbentang dengan sempurna di depan kedua mata 
gue ini. Praise The Lord!
Ooops!
 Perjalanan agak kurang lancar nih, pasalnya ada sedikit salah paham 
antara si supir bis dan Kak Lius yang mesen bis ini. Ternyata kita gak 
diantar sampai beskem pendakian di atas, kita hanya diantar sampai di 
sebuah gapura. Akhirnya mau gak mau kita mesti jalan sampai ke beskem. 
Baiklah, itung-itung pemanasan, pikir gue.
Kala itu masih sore ketika kita 
tiba di jalur pendakian Chuntel. Pula, gue merasa bersyukur juga sih 
kalau si abang sopirnya tadi gak nganterin kita sampe ke atas karena gue
 bisa memiliki lebih banyak waktu untuk mengagumi pemandangan yang super
 duper keren binti indah di kiri dan kanan gue. Jajaran pinus yang 
berdiri kokoh dengan batang kemerahan menyapa kita dengan hangat 
seolah-olah berkata, "Selamat datang, para pendaki! Semesta menerima." 
Gue pun tersenyum di tengah nafas yang tersenggal-senggal.
Seandainya
 gue punya DSLR, rasanya ingin berhenti dan merekam indahnya alam di 
sekeliling gue dalam foto yang kualitasnya bagus. Tapi, bersyukur sih 
Olympus ini cukup mewakili, hehehe, terlebih bersyukur lagi adalah kedua
 mata yang masih berfungsi dengan baik sehingga bisa melihat ciptaanNya 
menggunakan ciptaanNya sendiri juga. Melihat alam dengan kedua mata ini.
 :)
Jalanan
 terus menanjak dan berliku. Peluh mulai bercucuran, nafas makin 
terengah-engah, sementara beskem katanya masih jauh di atas. Gue sangat 
menikmati perjalanan ini, tapi juga engga memungkiri kelelahan badan 
gue. Rasanya beberapa persen dari kelelahan gue ini adalah karena energi
 yang keluar dari terus mengagumi keindahan semesta ciptaanNya, saking 
indahnya. Di setengah perjalanan pun kita disapa ramah oleh mentari yang
 terbenam dengan tenang dan elegan bak meninggalkan teladan untuk para 
puan. Juga, berpapasan dengan penduduk desa yang turun ke bawah, seorang
 ibu dan bapak tua yang tersenyum tulus kepada orang asing macam kami. 
Ibu tua itu secara gak langsung pun mendongkrak lagi semangat gue untuk 
sampai ke beskem, karena dia telah tua dan ringkih, tapi masih membopong
 keranjang besar berisi sayuran (kalau gak salah) di atas kepalanya. 
Well, gue masih muda dan harus jauh lebih semangat!
Seperti fatamorgana di gurun pasir, untung ini bukan fatamorgana. Seonggok rumah berdiri di pinggiran jalan. Tujuan kami. Beskem Chuntel. Kita tiba di beskem. Gue pun segera duduk, menyelonjorkan kaki, dan minum. Beskem ini cukup luas, berisi sebuah ruang yang sebagian lantai sebelah kanan-kirinya dilapisi tikar untuk para pendaki beristirahat. Ada dua kamar mandi, dapur, dan sebuah estalase yang menjual perlengkapan mendaki seperti kupluk dan sarung tangan. Saat itu, beskem ramai dengan pendaki lain yang baru turun dari mendaki dan para pendaki yang hendak ingin mendaki seperti rombongan gue. Di beskem ini kita menggunakan waktu yang ada untuk istirahat, makan malem, ngobrol-ngobrol, pasang salonpas, dan foto-foto, hahaha.
Jalur pendakian Chuntel, pukul 21.00an WIB...
  
Sekitar
 pukul 9 malem, kita bersiap memulai pendakian. Seperti tersengat aliran
 listrik, gue excited campur ada sedikit ketakutan karena malem ini gue 
bukan akan berjalan di trotoar depan kampus, tapi di gunung dan entah 
apa yang akan terjadi di sana. Saat itu gue bener-bener berdoa, gue pun 
teringat saat teduh gue hari itu yang entah kenapa juga menggunakan 
ilustrasi tentang pendakian, tapi justru gue tetap diingatkan untuk 
tenang dan bergantung dengan Allah.
Rombongan
 kita pun berkumpul sebentar di depan beskem untuk diberi wejangan oleh 
seorang mas-mas yang udah berpengalaman banget mendaki Merbabu, mm 
istilahnya juru kuncinya Chuntel itu kali ya, hahaha, pokoknya dia 
ngasih tau kita tentang apa yang perlu diingat dan larangan-larangan 
selama Mendaki seperti ketika Mendaki, pikiran harus positif, kalau kita
 mikir negatif malah bisa kejadian beneran; ga boleh ngeluh; ga boleh 
ngomong kotor; dll. Setelah dikasih wejangan, kita berdoa dalam hati 
masing-masing, lalu mulai berkelompok dengan kelompok masing-masing yang
 sudah dibentuk sebelumnya. Berjalannya pun harus teratur sesuai urutan 
kelompok demi kelancaran pendakian rombongan gede ini. Kelompok 1 mulai 
berjalan dan disusul kelompok-kelompok berikutnya.
Dengan
 semangat full tank, kita menyusuri perkampungan penduduk, lalu memasuki
 ladang. Dari bawah, kita bisa melihat cahaya-cahaya senter di kejauhan 
di atas sana milik pendaki-pendaki lain yang sudah mulai mendaki duluan.
 Lalu, tibalah kita menelusuri jalan setapak yang semakin menanjak di 
antara pepohonan tinggi. Sesekali kita berhenti sebentar untuk istirahat
 sekita 2 atau 3 menit, lalu mulai berjalan lagi. Meskipun medannya 
masih biasa, belun terjal-terjal amat, tapi tetep udah bikin 
ngos-ngosan, jadi penting banget untuk ngatur nafas. Ketika sudah sangat
 lelah dan butuh istirahat, jangan sungkan untuk mengajak yang lain stop
 dan istirahat dulu, karena kalau dipaksa malah akan berdampak buruk.
Udara
 dingin sudah mulai menusuk kulit walaupun sebenernya selama pendakian 
badan rasanya gerah banget karena berkeringat. Pun, seluruh anggota 
badan bahu-membahu dalam pendakian ini, dari mulai kaki yang terus 
melangkah, tangan yang benerin slayer penutup idung yang melorot-melorot
 (-_______-"), mata yang terus fokus meratiin jalan karena semakin lama 
semakin terjal, sampai pikiran yang terus berkonsenterasi untuk selalu 
berpikir positif. Oh iya, berdasarkan pengalaman mendaki ini, gue 
saranin setiap orang wajib bawa 1 senter dengan baterei cadangan juga, 
karena gue merasakan sendiri agak kesulitan meratiin jalan kalau 1 
senter dipakai berdua, walaupun emang sih kebersamaannya semakin terasa,
 hehe. Tapi, ya lebih baik masing-masing bawa senter. Eniwei, belum 
sampai ke pos bayangan 1, kita sempet berhenti untuk istirahat, dan 
sudah terlihat pemandangan kota di bawah yang sangat keren, lampu-lampu 
yang bagaikan ribuan bintang, gue pun celingukan kira-kira yang mana 
lampu kost-kostan gue (#PLAK!-_-).
Saat
 tiba di pos bayangan 1, capeknya bukan main, sob! Gue gak sanggup 
ngobrol sama temen saking sibuknya ngatur nafas dan kepala sedikit sakit
 karena kecapekan. Di pos bayangan 1 itu, kita istirahat cukup lama 
sekitar 5 menitan lebih deh. Lalu, jangan istirahat kelamaan juga, ntar 
ga nyampe-nyampe, jadi kita capcus mendaki lagi. Sejauh ini, medan masih
 dapat dikuasai walaupun semakin menantang, nafas juga masih dapat 
diatur dengan baik, dan semangat pun masih berkobar. Beberapa kali pun 
kita sempat berhenti untuk istirahat, ngantri antrian kelompok depan, 
ataupun ada beberapa teman yang mengalami keram dan kelelahan sangat. 
Kata orang, saat mendaki nanti akan terlihat siapa seseorang 
sesungguhnya. Maksudnya, setiap orang pasti berambisi sampai puncak, 
tapi saat mendaki ini akan teruji dan terlihat mana yang hanya mengajar 
ambisi dan mana yang peduli dengan orang lain. Puji Tuhan, teman-teman 
sepelayanan gue ini terhitung orang-orang yang peduli karena ada temen 
gue yang kelelahan banget (cewek) dan teman gue yang lain (cowok) 
ngebawain tasnya. Wew, good job, man! Terbukti kalau cowok emang lebih 
kuat fisiknya ketimbang cewek.
Pun,
 rasa letih kami tidak mengurangi kadar humor kami. Cowok-cowok tangguh 
dan konyol dari rombongan kami pun tidak bosan-bosannya membanyol dan 
berteriak ini itu sepanjang perjalanan. Meskipun berisik, tapi mereka 
hiburan tersendiri. Istilahnya seperti radio berjalan di tengah hutan 
lah. Jadi, bikin pendakian kita gak flat, thanks guys! "SIPUT 4 
AMAN???!!!" teriak salah saorang yang hobi banget berkicau selama 
mendaki ini. "AMAN!!!" teriak koordinator kelompok gue. Dalam hati gue 
membatin, "Asam! dibilang siput! grrrrr, oke, yang penting nanti gue 
sampe puncak!"
Dalam
 pendakian ini, bukan hanya akan terbukti siapa yang ambisi semata dan 
siapa yang peduli, tapi juga terbukti kalau sekuat-kuatnya perempuan, 
dia tetap membutuhkan pertolongan pria. Sekuat-kuatnya gue mendaki 
ngelewatin jalanan yang makin terjal, gue, pada kenyataannya, tetep 
butuh uluran tangan cowok yang bantuin, ya karena mereka lebih kuat. 
Thanks, buat temen-temen cowok di kelompok gue yang udah bantuin gue dan
 Wika! :D
Langkah
 kembali terpacu dan berhati-hati dengan lubang, akar, dan batu besar. 
Batang-batang pohon di kanan kiri terkadang menjadi pegangan menopang 
tubuh letih gue. "ISTIRAHAAAAAAATTTT!!!!" teriak salah seorang dari 
rombongan dan kita pun istirahat lagi sebentar. Api unggun dinyalakan 
untuk menghangatkan badan. "Gula jawa, gula jawa!!" jerit yang lain. 
Sebongkah gula jawa yang terkena debu pun pindah dari 1 mulut ke mulut 
yang lain. Kotor? Jijik? Engga peduli lagi, bro! Ketika sedang letih 
beristirahat sambil berdiri itu pun, mata gue lebih asyik melihat ke 
langit yang bertabur bintang. Bintang-bintang itu terlihat lebih dekat 
dan lebih banyak dari biasanya. Perfectly beauty!!!! dan... OMG! 
"BINTANG JATOH!!!!" teriak gue seketika saat tidak sengaja mendapati 
sebuah bintang melesat jatuh dengan cepatnya. "MANA?? AHH BO'ONG 
BO'ONG!!" seru temen gue yang telat ngeliat. Gue cuman bisa bilang, 
"SERIUS TADI!" Pada akhirnya, setiap kali istirahat sejenak, gue 
sempatkan untuk mengedarkan pandangan ke langit. Lagi pula, langit 
sekeren ini pun cukup menjadi penyemangat gue untuk kembali mendaki.
Hari
 semakin malam, udara jelas makin dingin, pos demi pos telah kita lalui,
 setelah sekian lama mendaki, mendaki, dan terus mendaki, akhirnya kita 
tiba di Pos 3. Di pos 3 ini lah perjalanan kita menuju puncak hanya 
tinggal beberapa jam lagi. Di pos ini pun, kita mulai memasang tenda 
untuk beristirahat cukup lama, menyalakan api unggun, membuka matras dan
 sleeping bad kita. Karena keterbatasan sleeping bad, akhirnya sleeping 
bad dan matras pun kita jadikan alas untuk badan dan tas untuk bantal. 
Gue dan teman-teman sekelompok tidur pose pepes di atas matras yang 
terbuka. Kita sama-sama memandang langit beserta ribuan bintangnya yang 
jelas-jelas terpampang di depan mata. Gak percaya kalau bintangnya ada 
ribuan? Coba aja itung sendiri :p.
"Kapan lagi ya, Kak tidur sambil ngeliatin bintang begini, aku dari dulu pengen banget," kata Wika.
"Iya, Wik, aku juga, kapan lagi coba," sahut gue.
"Itu gugusan bintang, kebanyakan yang bentuknya layang-layang ya."
"Eh, itu ada yang bentuknya kambing!" Sahut yang lain.
"Mana?"
"Itu, itu kakinya, itu badannya, itu kepalanya, liat gak?"
"Heheheh mana? Gak ada."
"Ada, itu kambing."
...
"Iihhh bintang jatoh!"
"Mana? mana? ahh bo'ong!"
"Serius."
"Eh, itu bintang jatoh!"
"Mana? Ah, ck, telat!"
"Bintang jatoh!" barengan.
"Iya, tadi bintang jatoh. Wahhh.. aku udah liat 3 kali."
Setelah
 berlama-lama memandang langit, gue beralih ngambil sarung, membalut 
badan gue pake sarung, lalu ke perapian. Gila! di pos 3 ini dinginnya 
ampun-ampunan! So, hangaaaaat banget pas di depan api. Mata pun letih, 
pengen banget tidur, hape udah ga usah ditanya kabarnya, udah ko'it 
dengan sendirinya, jadi gak bisa apdet status ;p. Saking ngantuknya, gue
 pun merapat ke salah seorang kakak yang ber-sleeping bad dan mau 
membagi sleeping bad-nya dengan gue. Alhasil, entah untuk berapa menit, 
gue terlelap.
Pukul 04.00an WIB, Menuju Pos 4 yang katanya puncak...
Setelah
 istirahat cukup lama di pos 3, kita melanjutkan pendakian ke pos 4 dan 
mengejar target matahari terbit. Ada kalau engga salah 3 orang yang 
tetap stay di pos 3. Doakan kami ya, teman! Barang bawaan kami semua 
ditinggal di tenda, air minum pun ga dibawa karena udah mau abis juga, 
yang gue bawa cuman si Olympus kamera tercinta untuk mengabadikan moment
 di puncak. Jalan menuju pos 4 ini lebih lebih lebih heboh dan terjal 
dari sebelumnya, batunya besar dan tinggi-tinggi, sekali lagi gue butuh 
tangan (cowok)! Kita tolong menolong. Semak-semak berduri pun kita 
telusuri dan apesnya beberapa senter batereinya mulai habis, tapi kita 
terus mendaki dengan berbagai strategi untuk bantu-membantu. Sampai kita
 lihat langit semakin mencerah dari gelap, kita semakin berambisi sampai
 ke puncak sebelum matahari terbit.
Beberapa
 teman lain ada yang sudah memijakkan kaki di atas sana, sementara gue 
masih tertatih-tatih mendaki, dan langit semakin cerah, harapan agak 
memudar, tapi gue engga mau liat matahari terbit di atas gundukan batu 
yang harusnya gue lalui ini, gue ingin liat matahari terbit di atas 
puncak sana. Beberapa kali gue istirahat, tarik-ulur nafas dan agak 
sedikit putus asa untuk sampai di atas karena udah cuapek buanget dan 
rasanya gak kuat lagi untuk sampai di atas. Saat tinggal beberapa meter 
lagi, beberapa batu lagi untuk gue lalui, teman-teman yang udah di atas 
menyemangati, "AYO RAYI RAYI, SEDIKIT LAGI! AYO, RAYI SEMANGAT! SEDIKIT 
LAGI!"
"Iya,
 Ray, dikit lagi... ayoooo!! matahari jangan terbit duluuuu!!!!" jerit 
gue dalam hati sambil terus mendaki dengan sisa-sisa tenaga. Dan thanks 
GOD! Gue sampe di atas, di puncak, di pos 4, di pemancar. 
"AAAAAAAAAAAAAAAAAA THANKS GOD, SAMPE JUGA!!!" gue langsung menatap 
langit dan matahri terbit. Ffiiiuuuuhhh untung gak telat-telat banget, 
gue masih sempet ngeliat matahari yang berangkat dari setengah lingkaran
 menjadi lingkaran sempurna yang sangat menawan. Terimakasih, 
Tuhan........
Hangatnya
 mentari di puncak gunung sedingin ini terasa di kulit gue, indah dan 
damai banget. Terbayar sudah semua lelah dengan indah. Mata gue tak 
lepas memandang sang mentari yang semakin meninggi sambil menaikkan 
pujian kepada Sang Pencipta dalam hati. How Great Thou Art! :)


Ray sumpah aku ngiler maksimal baca ini..aku juga pingin plisss, aku juga pingin pake bangeeet..cuman fotonya kurang banget iniiih...hehehe
ReplyDeleteDan, emang khan kita tulang rusuknya...khan tulang rusuk itu pasti butuh tulang punggung...hahaha..
ah keren deh rayy...aku baca sampai habisss..dan malam malam jalan di jalan setapak, di hutan, di ladang, naiiik..ah, keren banget pasti. apalagi itu tidur beralaskan tanah beratapkan samudera bintaaang..ah, keren pasti ya. kapan gueeee -_________-
hahaha thanks, Meyekk sudah bertandang :D
Deleteaku aja pengen lagi kok, Meyk, masih penasaran sampe ke puncak yg sesungguhnya yg namanya Puncak Kentengsongo sama puncak Syarif.. :D
halaaah tulang rusuk pula dibawa2 --" tapi seru juga sih, kalo ngedakinya sama tulang punggung #lhoo :p
kapan2, meyk, berdoa aja,pasti ada kesempatan :D
iya nihh, tdinya mau naroh banyak fotonya tapi kok bentukku gak ada yg bagus selama di jalan bahahaha berlumur debu n keringet gt, ga sempet touch up hahaha :p