Aku si gembala penunggu kambing dan senja yang biasanya duduk di pinggir kali. Ketika langit sudah memerah dan para kambing sudah terlihat kenyang dengan santapan sore mereka, aku akan kembali ke dalam selimut gubuk reot dari bilik bambu.
Sore ini, aku baru saja menyapa Euis, kembang desa pujaan gembala--aku. Eleuh eleuh, senyumnya manis pisan sampai membuatku tersipu-sipu sendiri seperti kemasukan setan yang baru jadian. Terbayang terus senyuman Euis, aku mesam-mesem sambil menghitungi jumlah kambing-kambingku. Euis oh Euis... Masih terbayang senyuman Euis, kulihat si Tompel meluncurkan lagi aksi pedekatenya ke Irah, si kambing putih mulus.
Tompel sengaja memilih rerumputan di sebelah Irah agar aksi pedekatenya lancar. Salut lah sama Tompel, ia tidak hanya mampu menyapa dan membayangkan senyum Irah, tapi sampai berada dekat-dekat dengan Irah, mengunyah rumput yang lezat bersama, menanti kepulangan matahari ke paraduannya pun bersama-sama.
Terpaku pada aksi Tompel dan Irah, aku makin terlarut dalam lamunan, iri akan sepasang kambing yang romantis di hadapanku ini. Hhhh... Pencapaianku hanya sampai terbayang-bayang senyum manis Euis. Kapan aku bisa berada dekat-dekat dengan Euis, menatap senyumnya, lalu bibir mungil Euis berubah dari senyum, kemudian mengerucut, dan.... aku memejamkan mata, berharap ini bukan lamunan semata.
Cup!
Kecupannya mendarat di pipi kananku.
Apa?
Kecupan. Iya, kecupan Euis! Ini bukan lamunan semata! Ini nyata! Baru saja pipiku bergetar.
Euis, sejak kapan ada di..... kok lengket? kubuka mataku, kuraba pipi kananku. Dengan jijik kulihat seekor katak sawah dengan asyiknya melompat-lompat mengenai pipiku.
Hah! Kukira kecupan Euis!
No comments:
Post a Comment
monggo komentar membangunnya. saya dengan senang hati akan membaca dan membalasnya. :) makasih juga sudah melipir ke blog saya, jangan jera-jera untuk datang kembali, ya, hehehe. God bless you :).