Tuesday, March 19, 2013

kenapa manusia tidak meniru kehidupan tupai?


Di suatu pagi yang mendung, di tengah hutan rimba raya yang dipenuhi dengan pepohonan berdaun rimbun dan berbatang merah, sekumpulan hewan keluar dari sarangnya dan berbaur. Mereka asyik dengan kegiatan masing-masing. Ada sekumpulan tupai yang sedang bermain lompat akar lentur. Dua tupai masing-masing memegang ujung akar pohon yang lentur, lalu memutar-mutarnya, dan seekor kelinci dengan lihai melompati akar tersebut. Ada pula segerombolan semut yang sibuk mengangkat rerempahan makanan sisa para pemburu semalam di atas kepala mereka. Beberapa semut itu sibuk berteriak-teriak, "awas! awas! air panas!" agar tidak terinjak hewan lain.



Ada juga seekor semut yang sibuk merepet, "AAAAAAK! Perhatikan kakimu, tikus got! Kau hampir menghancurkan makananku dan membinasakanku! Aku tidak sudi mati dengan cara hina seperti itu!"

Sementara yang direpeti hanya bisa memberikan wajah melas dan berkata, "Perlukah aku memasang papan nama? aku tupai!"

"Kau pikir aku sekolah? Menulis saja aku tidak bisa," balas semut itu, masih sewot.

"Pantas! Kau hanya menjadi semut yang tidak bisa melakukan hal lain selain memunguti makanan sisa!" seru tupai ketus.

"Apa?! Kau tahu hal paling bodoh apa yang kulakukan seumur-umurku hidup sebagai semut?"

"Apa?"

"Membuang waktu dengan meladeni obrolanmu. Waktuku adalah makanan. Lihat, manusia saja meniru jerih payahku. Dan sekarang, bodohnya aku, membuang waktu untuk berbicara denganmu, itu sama saja membuang makanan untuk persediaan musim panas," si semut berlalu dengan kepala terangkat, dan melengos pergi sebelum si tupai sempat membalas repetannya.

Lagi-lagi tupai kalah dalam hal beradu mulut dengan hewan kecil yang sebenarnya dengan sekali pites bisa wafat itu. Dan, tupai dengan wajah yang masih merah padam beralih ke sekumpulannya yang sedang bermain akar lentur.

"Kenapa kau seperti ubi rebus begitu?" tanya tupai lain yang sedang bersandar di batang pohon.
"Kenapa tidak ada manusia yang meniru kehidupan kita? Padahal kita juga mencari makan," ujarnya masih emosi dengan perkataan semut.
Teman tupai itu tersenyum, sambil kembali merajut serat-serat batang pohon, "Pergilah ke pinggir sungai. Lihatlah teman kita, rusa."


Tupai yang masih bertanya-tanya itu hanya bisa memberikan wajah melasnya (lagi) karena tidak mendapatkan jawaban langsung atas pertanyaanya. Lalu, ia menghampiri pinggiran sungai. Dari jarak yang tidak terlalu dekat, ia melihat sekumpulan rusa yang sedang memakan dedaunan dari pohon dengan tenang. Sedetik kemudian, seekor raja hutan dengan ganas memangsa satu rusa yang terlambat menyadari datangnya pemangsa itu.

Dengan spontan, tupai menutup mata, ia tidak tega melihat adegan pembunuhan di depannya. Ia mundur beberapa langkah, lalu berlari, sebelum ia menjadi pencuci mulut si singa yang sedang menikmati sarapannya itu.

"Hhhh... hhh.... hhh....," tupai ngos-ngosan sampai ke temannya yang masih merajut serat.
"Kenapa kau seperti ubi rebus begitu?" tanyanya seperti biasa.
"Apakah ubi yang sedang direbus juga ngos-ngosan?" tupai memelas. Tidak kreatif sekali temannya yang satu ini, batinnya.
"Kau berkeringat, sama seperti ubi sehabis direbus yang terkena uap panas yang menjadi air."
"Ah! apapun lah. Rusa itu... dibunuh singa! Kau ini malah menunjukkan tontonan tragis itu padaku!"
"Tadi katanya kau bertanya kenapa manusia tidak meniru kehidupan kita?"
"Ya, dan aku tidak menemukan jawabannya."
"Putarlah otakmu sekali-kali!" seru tupai yang merajut itu dengan tetap tenang, tapi menusuk hati tupai yang sedang penasaran.
"Ya, dan manusia juga tidak meniru kehidupan rusa."
"Bisa jadi."
"Memang apa lagi?"
"Semua hewan mencari makan..."
"Lalu?"
"...tapi tidak semuanya merasakan hasil usahanya, bukan?"
"Ya, kasihan rusa itu mati."
"Jadi, masih mempertanyakan kenapa manusia tidak meniru kehidupan tupai?"
"Hmm.. tidak. Sepertinya aku tidak perlu lagi mengambil pusing perkataan hewan lain,.."
"Dan?"
"Ya, bersyukur saja kalau dalam usahaku mencari makan, aku tidak sampai terbunuh."
"That's it!" tupai kembali merajut.
"Hah? Kau sekolah? Bahasa apa itu tadi?"
"Teman, selain bersyukur, kau juga perlu terus belajar."

No comments:

Post a Comment

monggo komentar membangunnya. saya dengan senang hati akan membaca dan membalasnya. :) makasih juga sudah melipir ke blog saya, jangan jera-jera untuk datang kembali, ya, hehehe. God bless you :).

Waspada Gudang Celotehan Bajakan!

Belakangan ini gue iseng buka blog gue setelah sekian lama gak terjamah. Gue iseng aja ketik keyword "Gudang Celotehan" di Googl...