Merbabu, I'm in Love (with YOU) III

Guys, pendakian Merbabu belum usaiiiii!!! :D Gue engga sabar untuk kembali melanjutkan ceritanya!!! Apakah kalian tidak sabar juga untuk membacanya? Iya aja ya biar gue bisa ngelanjutin ceritanya, hahaha (Dihh, maksa -___-"). Oke, kalo Merbabu, I'm in Love (With YOU) I bercerita tentang perencanaan dan persiapan pendakian, dan Merbabu, I'm in Love (with YOU) II tentang pendakian menuju puncak (gue sih ditipu, katanya post 4 itu udah puncak >.<, oke, gapapa :D). Nah, sekarang saatnya kita TURUN! kalo mendaki kan pendakian, kalo perjalanan turunnya masa penurunan? kayak penurunan harga SKS aja (#ehh ada yang ngarep :p).



Pagi itu sekitar pukul 06.00 WIB gue telah berhasil sampai ke post 4 dengan nafas yang masih terengah-engah karena memaksakan sisa-sisa tenaga untuk sampai ke atas. Tapi, itu semua tidak sia-sia. Begitu tiba di atas, gue disambut ramah dengan mentari anggun yang perlahan keluar dari peraduannya, menyemburkan sinar-sinar hangat yang menerpa wajah gue yang dingin, dan ia semakin tinggi, semakin menawan. Di tengah hati yang melonjak-lonjak karena keterkaguman dengan semesta yang luarbiasa indah ini, gue mengambil waktu untuk terdiam sebentar: hanya melihat ke langit yang lebih dekat dari biasanya, lebih jernih dari biasanya, lebih biru dari biasanya, dan gumpalan-gumpalan awan yang lebih besar dari biasanya, lebih dekat dari biasanya, dan lebih putih dari biasanya. Lalu, semesta ini mengantarkan gue dalam doa-doa kecil di hati, sekedar untuk berterimakasih atas penyertaanNya selama pendakian ini, tak lupa juga untuk memuji-muji namaNya dan mensyukuri karya-karyaNya yang masih dapat gue rekam dengan jelas lewat mata, ingatan, dan hati. How Great Thou Art!

Beberapa menit setelahnya pun, gue mengeluarkan si Olympus yang semenjak pendakian berada di kantong celana, untung dia gak melesat keluar dan rusak (amit-amit :p). Kemudian, gue merampas beberapa tangan teman-teman untuk memotret gue bersama langit, sembulan-sembulan gunung lain, gumpalan awan, jajaran bukit hijau, hamparan kota kecil di bawah, dan beberapa objek foto lain yang indahnya bikin geleng-geleng kepala.

Selesai mengabadikan moment, gue mengedarkan pandangan ke beberapa teman yang asyik membaringkan tubuh dan memejamkan mata di atas bebatuan besar ataupun tanah berbatu kecil. Wah, kelihatannya asyik sekali! Gue pun mengikuti mereka. Sayangnya beberapa batu besar sudah ada penghuninya, ya sudah gue mendapat lapak di tanah yang berbatu kecil dan pasti rasanya akan seperti tidur pijat refleksi gitu kali ya. Lalu, gue membaringkan badan, memejamkan mata, meluruskan kaki, melipat kedua tangan di depan perut, dan merasakan betapa hangatnya terpaan sinar matahari di tubuh gue. Nikmatnya tidur di atas gunung itu jauuuuuuuuuh lebih nikmat dari tidur di tempat pijet (belom pernah juga sih tidur di tempat pijet haha, tapi seriusan tidur di atas gunung itu super mega nyaman!!! recommended deh, haha :D). Eh, tapi gue engga tidur beneran, engga tidur boongan juga, tapi tidur-tiduran alias memejamkan mata, merilekskan badan yang super capek, dan merasakan hangatnya sinar mentari, tanpa masuk ke ruang dan dimensi yang lain. :)

Meskipun tidur-tiduran gue ini hanya berlangsung beberapa menit, tapi ini pengalaman yang menakjubkan! Then, setelah puas difoto dan motoin, merekam keindahan semesta beberapa kali dalam video, dan tidur-tiduran, gue dan rombongan turun kembali ke post 3. Kasihan juga kalau 3 orang teman di post 3 kelamaan menunggu kami, selain itu juga kami LAPAAAAAR!!! Sarden dan ketupat yang sudah kami persiapkan dari Salatiga menunggu kami di bawah sana! Kami datang!

Eittsss, kalau pendakian sampai post 4 menegangkan dan seru, penurunan emm... perjalanan turun pun engga kalah fantastis dan bombastisnya, sob! Sebelum mulai melangkahkan kaki untuk turun, gue dan beberapa temen mendelik ke bawah sambil geleng-geleng kepala, "Ini yang kita lewatin semalem (subuh)? Ckckck, ngeri juga!" kata seorang teman. "Gimana turunnya ya?" gue menyeringai bingung. Lalu, Kak Lius, seorang kakak pembimbing kami yang udah berpengalaman mendaki Merbabu, menunjukkan tips turun gunung yang keren!

"Gini, kalian turunnya jangan pake ujung kaki, nanti sakit dan lecet, tapi pake bagian samping luar kaki kayak begini," terangnya sambil menggerakkan sepatunya. "Trus turunnya jangan pelan-pelan juga, tapi kayak lari kecil gitu aja, kalau gak merosot aja nanti, tapi tetap hati-hati ya. Nah kayak dia tuh!" serunya sambil menunjuk salah seorang teman yang sudah beraksi menuruni gundukan besar tanah berbatu ini. Setelah itu, Kak Lius pun turun dengan gaya turun yang keren yang seperti dia jelaskan barusan.

Dalam hati gue berdecak kagum, "Wah! Keren! Kayaknya gaya pendaki-pendaki sesungguhnya kalau mau turun gunung emang begitu deh. Sekalinya turun dengan sedikit lari kecil seakan-akan kaki engga bisa direm. Kalo kata gue, ini namanya 'gaya anak monyet lepas dari kandang'!" Dan, gue turun dengan gaya tersebut.

Benar saja! Tidak hanya pendakian yang punya sensasi menantang adrenalin, perjalanan turun pun punya sensasinya sendiri dan serius! ini seru banget! Awalnya gue belum terlalu lancar turun dengan gaya begitu, tapi lama-kelaman semakin lancar dan kaki menjadi terbiasa. Begitu kami turun dengan speed yang agak cepat, debu-debu berterbangan dengan hebatnya di sekitar kami seperti menghujani tubuh kami. Wah, yang perawatan pasti akan menjerit-jerit sambil meratapi biaya mahalnya perawatan yang menjadi sia-sia ketika tubuh dihujani debu dan tanah seperti ini :p. Lalu, ketika kami bertemu dengan jalan yang agak curam, kami pun menjatuhkan pantat dan meluncur di tanah yang berdebu tersebut. "WAAAAAAAAAAA HAHAHAHAHAHAAAAAA!!!" Tawa pun membahana ketika melihat teman yang setelah meluncur, jatuh dengan posisi yang engga karuan, semacam nyungsep. Tapi, gue pun engga jauh berbeda, kita nyungsep bersama dan bahagia seperti kita lupa kalau sudah ber-umur-kepala-dua.

"Eh, tunggu-tungguuuuuuuu!!!" seorang teman di belakang gue pun menjerit. Gue dan teman yang lain berhenti sebentar dan memandang dia. "Ayooo, kak! merosoooot ajaa!". Lalu, merosotlah dia dan kita ketawa pas dia selesai merosot, hahahaha. "Kita udah kayak anak monyet lepas ya!" jeritnya. Tuh kan! hahaha. Beberapa pendaki dari rombongan lain pun turun dan berpapasan dengan kami, sesekali kami saling melempar senyum atau sekedar pandangan, dan mereka yang telah berpengalaman mendaki memang telah terlatih sekali turun dari gunungnya, lincah banget kaki-kakinya, dan speednya cepat. Keren!

Letih dengan gaya "anak monyet lepas dari kandang", kita pun (saat itu gue sedang berjalan bertiga dengan Eres dan Kak Landa) berjalan santai melalui jalanan berbatu kecil dan berdebu yang tidak terlalu bergelombang. Sejenak kami menghentikan kaki ketika kami diperhadapkan dengan hamparan langit, awan, dan kota-kota kecil di bawah. Situasi sebebas ini pun mendesak kami untuk membebaskan suara alias berteriak sekencang-kencangnya.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!" Teriakan yang lepas dan panjaaaaang.
"WOOOYY, BERISIK!!!" balas teriak teman-teman cowok yang masih berada di atas kami.
"Ahh, biarin! Kapan lagi!" Lalu, kami teriak lagi sejadi-jadinya. Sebenarnya kami tidak hanya berteriak "AAA" aja, tapi ada kalimat-kalimat lain, sayangnya gue lupa. Kayaknya kami sempat meneriakan kalimat berbau "jomblo" juga #uppss :p.

Puas! Lepas! Bebas! Lega! Seandainya setiap kali gue stress dan jenuh dengan rutinitas, gue bisa kapan saja ke gunung dan teriak di sana. Tapi, untuk mendapatkan ini semua memang butuh perjuangan sebelumnya. Untuk mendapatkan kebebasan, berjuang itu harus! Setelah puas dengan berteriak, kita lanjut berjalan, melewati tanaman-tanaman berduri yang saat gelap tadi subuh kita lalui dengan sangat hati-hati. Kita pun terpana dengan Edelwais yang kami jumpai di perjalanan, ingin rasanya memetik untuk dijadikan oleh-oleh, tapi sebagai pecinta alam, kita ingin belajar mencintai alam tanpa melukainya. :) Gue hanya memotretnya dalam jepretan-jepretan seadanya, lalu lanjut berjalan.

Kemudian, kami diperhadapkan kembali dengan jalanan yang terjal, sehingga kami pun perlu mengeluarkan jurus "anak monyet lepas dari kandang" lagi. Yak, dengan hebohnya gue meluncur, merosot, meluncur, merosot, meluncur lagi dan....

"KLEK!!!"
"AAAAKK! ADUHH! Ibuuuuuuuu......!!!!"

Pergelangan kaki kiri gue terkilir saat selesai meluncur. Grrr rasanya sakit banget!! Urat-urat kaki kiri gue kayaknya pada pindah tempat. Temen gue pun melakukan pertolongan pertama, mijet-mijet sambil gerak-gerakin kaki gue, tapi yang ada gue makin menjerit, maklum kita semua masih pemula dalam urusan mendaki dan tetek bengek lainnya. Temen gue pun menawarkan pundaknya, gue melingkarkan tangan ke pundaknya dan berjalan dengan pincang. Setiap kali kaki kiri gue menapak tanah, ngilu menjalar ke seluruh tubuh. Untunglah posisi gue terkilir itu udah engga jauh lagi dari post 3. Thanks anyway, friends karena telah membantu gue melangkah ! :D.

Sesampainya di post 3, beberapa teman sudah memanaskan sarden dan memotong ketupat, gue pun mengambil tisu basah, membersihkan tubuh yang kayaknya mustahil bisa bersih secara debu-debu serasa sudah menyatu dengan kulit. Gue udah gak tau deh bentuk gue kayak apa, haha :p. Memang, gunung itu tempat yang salah buat ngeceng, meskipun beberapa pendaki yang ditemui kece-kece, hahaha :p. Gue menghabiskan 1 pak tisu basah untuk mengelap muka, tangan, dan kaki, hasilnya tisu basah semua berubah warna jadi cokelat pekat. Tidak peduli! gue lapaaaar! selesai membersihkan tubuh seadanya, gue mengambil piring dan sendok yang gue bawa dari kost, lalu meminta jatah ketupat dan sarden. Wah, endang marindang! Meskipun ada rasa yang aneh, entah sardennya atau ketupatnya, atau lidah gue yang udah kena debu (oke, lebay, dari tadi juga udah lebay, haha. :p). Tapi, tetep sepiring penuh, bersih! Thank God! Setelahnya gue pun sempat mengoleskan minyak tawon ke pergelangan kaki yang terkilir.

Setelah tenaga terisi kembali, terimakasih pada sarden dan ketupat! kami membereskan tenda, sleeping bad, dan perlengkapan lain. Lalu, kami kembali turun sampai ke beskem Chuntel. Sebelum turun, gue pun celingukan sebentar mencari sebatang kayu yang kecil dan agak panjang biar bisa bergaya kayak Sungokong, ehh buat ngebantu jalan ding :p. Setelah itu, gue melobby seorang teman berinisial Wika (inisial .___.") untuk kalo gak keberatan nemenin gue jalannya pelan-pelan di belakang dan dia mau. Wikaaaa baiikkkk dehhh!! XOXO :D.

Kita menghabiskan waktu berjam-jam (sekitar lebih dari 3 jam) dalam perjalanan turun ini karena kita berjalan lebih santai dari saat mendaki. Kita pun beberapa kali mengambil break dan bertegur sapa dengan rombongan pendaki lain yang sedang istirahat juga atau pun yang hendak mendaki. Ramahnya mereka! Ngomong-ngomong, agak sedikit menyiksa juga berjalan turun dengan kaki terkilir sebelah. Sesekali gue tengok pergelangan kaki gue, ternyata membengkak, jadi gak proposional lagi >.<". Tapi, itu semua cukup terobati dengan pemandangan samudera awan putih di sebelah gue. Ah, gue seperti berada di negeri awan, awannya deket banget, pengen gue sentuh, tapi bisa-bisa gue terjun ke jurang soalnya terkadang awan-awan besar itu bercerai dan memperlihatkan jurang dengan pemandangan kota-kota kecil di bawah. Indah tapi menegangkan!




Di perjalanan pun, gue berdecak salut melihat beberapa teman perempuan yang sangat peduli dengan lingkungan. Katanya, "Kalo pecinta alam, jangan buang sampah sembarangan, apalagi di gunung!" sambil memunguti sampah plastik dll yang ia temui di beberapa perjalanan dan memasukkannya ke plastik kresek, lalu akan dibuang di tempat sampah dekat beskem nanti. Betul juga. Kalau mengaku pecinta alam, tidak akan mengotori alam dengan sampah. Sama seperti mencintai kekasih, masa iya kekasih sendiri dikotori?

Oh iya, gue juga mau berterimakasih dengan seorang temen cowok berinisial Korsi (bukan bangku loh ya, hehehe, peace, Kors! :D) karena telah membantu ngebawain tas gue, walaupun setelah itu tas gue dioper juga ke Kak Lius kalo gak salah, hahaha. Makasihh juga Kak Lius! :D

Perjalanan menuruni Merbabu terhenti di beskem Chuntel. Finally, kita bisa duduk santai menyelonjorkan kaki dan "Buset!!" pergelangan kaki kiri gue makin gendut aja >.<". Biarin deh, asal setelah itu engga jalan lagi, tapi dijemput bis kecil. Di beskem pun, setelah membersihkan diri seadanya (lagi) dengan air yang mengalir dari keran kamar mandi, gue tertidur pulas beberapa menit bersama teman-teman yang lain. Dan sebelum tertidur, kita sudah bermimpi indah duluan melihat keindahan semesta. Eh, tunggu, bukan bermimpi ding, tapi kenyataan! Lalu, gue pun bertekad, kalau nanti gue bertemu dengan kesempatan kedua, ketiga, dst. mendaki Merbabu lagi, gue ingin sampai ke puncak sesungguhnya. Denger-denger ada 2 puncak, puncak Kenteng Songo dan puncak Syarif.

Terimakasih TUHAN untuk kesempatan pertama mendaki Merbabu yang luarbiasa ini. Terimakasih untuk jajaran pinus berbatang merah yang menyambut saat awal pendakian, untuk hamburan bintang berkerlipan di langit yang lebih besar dan dekat dari biasanya, untuk 3 bintang jatuh yang gue lihat sangat jelas, indah, dan keren, untuk samudera awan dan langit yang bersih dan suci, untuk mentari yang menunggu gue sampai ke puncak dan semburat hangatnya yang menerpa tubuh, untuk setiap langkah yang Engkau kuatkan melewati bebatuan dan rintangan-rintangan yang lain, untuk setiap jiwa di sekitar gue yang saling membantu, untuk teriakan-teriakan yang saling menyemangati, untuk setiap pelajaran apapun yang Kau ajarkan dari pengalaman ini, bahkan untuk pergelangan kaki yang terkilir ini sebagai tanda kalau memang mendaki Merbabu bukan sebatas mimpi, tapi realisasi.

dan lewat Merbabu, gue semakin fallin in love with GOD. :)
Terimakasih TUHAN!
KAU memang ALLAH yang layak dipuji, diagungkan, dan disembah!
Kemuliaan hanya bagiMU, TUHAN!

Comments

Post a Comment

monggo komentar membangunnya. saya dengan senang hati akan membaca dan membalasnya. :) makasih juga sudah melipir ke blog saya, jangan jera-jera untuk datang kembali, ya, hehehe. God bless you :).

Popular posts from this blog

Seragam SMA = Baju Jojon

Postingan Galau

Dua Mimpi untuk Salatiga