Saturday, August 15, 2015

Journalism is My First Love, Education is the True Love.

Jurnalistik adalah cinta pertama gue. Sebelum mengenalnya, seperti kebanyakan anak kecil suka membuat deretan cita-cita yang yaa lo tau sendiri gimana akhirnya, gue pun demikian dulu. Jurnalis masuk di dalam deretan cita-cita gue. Dulu, gue masih belum mengenal kata jurnalistik, yang gue tahu adalah menjadi penulis buku atau kerja (menulis) di majalah. Seiring melangkahnya waktu, cita-cita gue itu ternyata bagian di dalam bidang jurnalistik dan gue semakin jatuh cinta padanya. Lebaynya kayak gini, gue jatuh cinta padanya bahkan sebelum gue mengenalnya. Saik kan? Hahaha.



Gue semakin jatuh cinta pada jurnalistik semenjak Tuhan mempertemukan gue dengan banyak kesempatan untuk berkecimpung di dalamnya, meski belum terlalu dalam. Saat SMA dan kuliah, gue mulai sangat menikmati menulis yang diburu-buru, dikejar-kejar deadline, dan di bawah tekanan untuk segera terbit. Intinya sama, gue menikmati bekerja di bawah tekanan. You know why? Karena engga tau kenapa, para ide menawan itu selalu datang mepet deadline. Pada jurnalistik, semakin gue mengenalnya, semakin jatuh hati padanya. Ibarat cinta pertama. The first time you are wondering "is this love? whatever! I love you." and all you wanna do is being around your first love for it's the first time you know that you're falling in love.

However, life. It goes on. And, God. You can't predict what God have for you. Sama seperti manusia pada umumnya, semakin bertambah usia, gue bertemu dengan banyak hal baru, orang-orang baru, juga pengalaman-pengalaman baru. In this case, imagine that you just break up with your first love, but because that's the first love, who can win to forget it? Lalu, gue mulai mengenal bidang lain yang ternyata tidak kalah menarik dengan jurnalistik, meskipun jurnalistik masih terbayang dan jejaknya berbekas di benak gue. Saiiiik. Bidang itu adalah pendidikan.


Untuk bidang yang satu ini, gue engga pernah memasukkannya di deretan cita-cita ababil gue. Tapi, kalau lo tau istilah "cinta karena terbiasa", I think that's what's happening between education and I. Secara gue terjerembab di fakultas Pendidikan dimana gue lebih menyukai pelajaran sastra-nya, gue mulai sedikit demi sedikit mengenal dunia pendidikan. Segala teori pendidikan yang sebagian besar gue lupa (tanpa sengaja), gue lahap di bangku kuliah. Sebagian tercerna dengan baik, sebagian lagi tersendat, karena saat itu gue emang kurang minat berkutat di dalamnya. Namun, apa yang sudah dimulai harus diselesaikan, bukan? It's like you find a cute foe and unexpectedly fall in love with him. Gue pun mulai menyukainya.

Perjalanan cinta gue pada pendidikan tidak berhenti pada "pencekokan" materi-materi kuliah, tapi terlebih pada sebuah fakta yang terdengar seperti jerit tangis di telinga gue. Fakta dimana pendidikan di Indonesia ini masih memprihatinkan. Gue engga menyoroti bagian dalamnya Pendidikan, bahkan bagian permukaan pendidikan Indonesia masih memprihatinkan. Kualitas dan fasilitas pendidikan yang belum merata di berbagai pelosok Indonesia, kemiskinan yang berdampak pada banyak anak terpaksa tidak bisa sekolah bahkan beberapa jika ditanya lebih memilih "bekerja" ketimbang sekolah, belum lagi kemerosotan moral anak-anak sekolah di beberapa tempat, dan lain-lain. That's knocking my heart, that's calling me. Lalu, melihat semua itu, apa gue harus pura-pura gak lihat? mendengar semua itu, apa gue harus pura-pura engga denger? I found that education is my vision, my true love. Does it sound bullsh*t? Everyone may judge, but I don't care, I love it, my true love. Are you wondering what I have done for it? Well, I say, not yet, hmm... or in processing.

Gue yang saat itu seperti bayi yang baru terlahir di dunia bekerja pun masih bingung menentukan langkah. Dan, dengan berani (ukuran gue), memilih bekerja di dunia pendidikan bermodal cita-cita di bangku kuliah untuk memberi sumbangsih pada dunia pendidikan Indonesia, tapi entah apa rencana Tuhan, it isn't that easy to be a teacher and I think I wanna give up. Meskipun demikian, setiap kesempatan yang gue temui gue yakini bukanlah kebetulan, paling tidak menjadi pembelajaran.


Sempat gue berpikir mimpi gue di dunia pendidikan terlalu tinggi hingga gue menyederhanakannya dengan mendidik setiap anak yang Tuhan percayakan ke gue dengan baik dan mengenalkan mereka pada Tuhan sejak dini. Dan, ternyata itu pun tidak sesederhana kelihatannya. Namun, I keep setting it 5 cm afar from my forehead, so I keep trying my best with God's help to do it. Sampai sekarang, gue masih berharap dan berdoa bisa menuntaskan, apabila terlalu mustahil, ikut ambil bagian untuk mendidik anak-anak yang belum bersekolah karena tidak ada pilihan. May it doesn't sound great, but do come true. That's why I admit that education is my true love. That involves heart, prayers, time, passion, and most of all is God, to love and work for it. Because love is a verb, a continuous verb, education is my true love. 

I put my vision on God's hand for I'm just a tool and He is The Creator. God who is activating me for the things He wants me to do. May it doesn't sound great, but do come true.

Saturday, August 8, 2015

"Gue emang gitu orangnya" Vs. "Gue mau bertumbuh lebih baik"

I used to think that being myself is all I need. But, I've just realized that being myself and being ignorant to grow up is nearly the same.

Dulu gue pernah mati-matian menanamkan dalam kepala, gue ya gue, dia ya dia, do not dare to compare! Memang setiap orang memiliki keunikkan masing-masing dan baik untuk dipertahankan. Tapi, sering kali anggapan "menjadi diri sendiri" itu digunakan dengan keliru. Pula, ternyata anggapan "menjadi orang lain" dan "pertumbuhan menjadi dewasa" nyaris sama dan sulit dibedakan. Namun, jika kita sedikit saja lebih peka dan berpikir positif, dengan sangat mudah mereka dapat dibedakan.


Gue pernah bertemu seseorang, yang gue percaya lagi-lagi setiap pertemuan dengan orang baru pun bukan hal kebetulan, dia berusia lebih tua dari gue dan memiliki lebih banyak pengalaman di bidang yang kami geluti. Secara kami adalah dua insan yang berbeda, cara kami menghadapi sesuatu pun berbeda, tapi sudah banyak "makan asam garam" pun menjadi faktor penting dan berpengaruh di dalam menghadapi segala sesuatu.

Beberapa kali kami sering saling bercerita dan berpendapat tentang banyak hal. Gue pernah sangat ngotot kalo apa yang gue udah lakukan adalah paling benar, that's me and the way I deal with a thing. Namun, di matanya cara gue salah, lalu dia sampaikan pendapat juga sarannya. Gue bersikukuh dengan pendapat gue sendiri, dan menolak untuk "mejadi orang lain" dengan mengikuti sarannya yang engga "gue banget." However, that's not the end.

Gue mikirin lagi saran sekaligus kritik darinya dan tiba pada suatu pemahaman bahwa gue sudah terlalu tinggi membangun tembok hingga menutupi diri dari semua hal yang mungkin lebih baik efeknya buat diri gue sendiri. Saran dan kritikan dari orang lain yang lebih berpengalaman bukanlah pemaksaan untuk menjadi orang lain. Mereka telah beberapa langkah di depan gue, pernah melewati jalan-jalan yang saat ini gue lewati, dan tahu bagaimana baiknya melewatinya. Mereka justru sangat baik karena mau berbagi ilmu, bahkan mungkin sedang menolong kita agar tidak jatuh di jalan dimana dulu mereka pernah jatuh. Gue akhirnya berterimakasih pada teman gue itu dan berjanji untuk gak lagi ngotot dengan pikiran "gue mau jadi diri sendiri, gue engga mau jadi orang lain."

Setelah saat itu, gue mulai membuka pikiran dan menemukan anggapan yang keliru tentang "menjadi diri sendiri". Contohnya seperti ini, gue adalah orang yang lebih suka diam. Ketika di sebuah pertemuan besar membahas beberapa hal, sering kali gue menemukan ide, namun menyimpannya dan menyampaikannya ke teman dekat. Ketika ada orang lain yang bilang, "sampein aja di forum," gue akan menolak dengan malu-malu sambil bilang dalam hati "itu kan elo, gue kan engga gitu orangnya." Padahal yang sebenarnya adalah gue sudah terlalu lama membatasi diri gue pada kemampuan sebatas menyimpan ide, belum menyuarakannya. Gara-gara paham "gue emang gini orangnya" yang terlalu lama tertanam di kepala, perkembangan menjadi pribadi yang lebih baik pun terhambat.

Itu hanya satu contoh. Tanpa sadar, mungkin ada lebih banyak lagi hal-hal baik dan membangun yang sudah kita tolak gara-gara anggapan yang keliru tentang menjadi diri sendiri. Hati-hati ya, guys. Coba dipikirkan lagi, bisa jadi hal-hal yang kita anggap berusaha mengusik kita untuk menjadi orang lain bukanlah hal-hal yang harus ditolak mentah-mentah. Lo memang akan jadi orang lain, orang lain yang lebih baik dari sekarang.

Lalu, "menjadi diri sendiri" seperti apa yang benar? Benar dan salah bukan gue yang memutuskan. Namun, bagi gue, yang terpenting adalah tidak menutup diri dan membatasi diri dengan pikiran "gue ya gini orangnya." As time goes by, we should grow up, shouldn't we? So, open our mind and grow up. When you can be better than who you are now, why get stuck to be just you? Let's be better you! :)

Waspada Gudang Celotehan Bajakan!

Belakangan ini gue iseng buka blog gue setelah sekian lama gak terjamah. Gue iseng aja ketik keyword "Gudang Celotehan" di Googl...